Aku hanya bisa menangis sekencang-kencangnya memecah hujan yang deras di malam rabu. Tidak peduli hawa dinginnya air yang jatuh menyirami bumi yang memanas. Hati yang panas tepatnya.
Langkahku terhenti di sebuah tiang listrik persis di sebelah halte, menatap langit dan menantang petir untuk menyambarku agar aku bisa keluar dari mimpi buruk. Ya...Disitulah aku meluapkan emosi yang sangat membara, Mengeluarkan segala isi paru-paruku sekuat tenaga. Dada ini tetap merasa sesak. Hati tetap pedih. Air mata pun tak kunjung habis.
Kelana yang selama ini sangat aku cintai. Sangat teramat kucintai, walaupun dia sama sekali tidak mencintaiku. Dan walaupun aku tahu dia tidak mencintaiku, dengan idiotnya aku tetap mengejar dia. Bahkan hampir saja mengemis cintanya.
Dia yang selalu dingin, acuh, dan tidak menganggap keberadaanku justru selalu membuatku penasaran dan menjadikan itu sebuah tantangan bodoh untuk mendapatkan dia. Baiklah...memang benar, aku menuruti kata hatiku yang salah selama ini. Menerjemahkan sebuah penolakan halus sebagai penyambutan. Membuatku yang tersandung menjadi makin terjerembab dalam sebuah lubang yang besar.
Jika Kelana bercumbu dengan wanita lain, tentu saja aku terluka. Namun melihat Kelana berciuman dengan seorang pria, aku ingin mati saja.
***