Kecerobohanku yakni membuka gerbang masa lalu, hingga
terjebak didalamnya. Bercampur menjadi satu menggeliat mesra dengan segala isinya.
Kesalahanku yang terlalu lama tinggal dalam gubuk masa
lalu, sibuk mencari sebuah pengharapan hingga aku tekurung dan lupa bagaimana
cara membuka pintu untuk meninggalkan gubuk ini. Pengharapan itu ternyata kosong.
Pernah suatu hari keberuntungan datang membantuku keluar
dari gubuk. Namun pada akhirnya aku kembali lagi ke sini. Terkapar dan
terdiam di teras gubuk seperti yatim piatu yang kehilangan pengasuh.
***
Keberuntungan itu berkata,”maaf,
aku hanya bisa mengeluarkanmu dari sini. Setelahnya, carilah jalanmu sendiri”
Lantas dengan keadaanku yang amnesia, aku berjalan dengan
linglung. Menyusuri hutan pinus yang berdiri tegap menusuk langit senja degan
pongah. Tatapannya yang sinis seakan merendahkanku, mereka pikir aku terlalu
lemah untuk menyelamatkan diri. Bulan tak bisa berbuat apa-apa melihatku
tersudut. Acuh, memalingkan wajahnya seakan tidak tahu apa yang terjadi.
Aku kalah jumlah, pun kalah ukuran. Semakin aku berlari,
semakin menggema tawa mereka yang tiada habisnya. Memekakan telinga, menghantamku hingga
terlempar jauh ke tengah sungai.
Angin yang kebetulan lewat memandangiku dan menyanyikan lagu
kematian. Mengelilingi tubuhku hingga aku menggigil. Ya, semuanya sama. Brengsek.
Kuhempaskan Jaketku yang basah ke sungai. Kulemparkan
sepatuku yang berat dengan air tepat ke dahi pohon pinus. Mereka terkejut dan marah. Belum sempat mereka membalasku, Matahari datang tanpa sapaan hangatnya. Membuat hutan pinus takut dan bungkam, bersama angin. Dan aku Menang dibawah ketiak sinar matahari.
Setelahnya aku kembali ke gubuk. Menjatuhkan tubuh yang
lunglai dibawah jendela teras. Aku Menunggu keberuntungan kembali datang dengan
membawa temannya agar aku benar-benar bisa keluar dari sini. Atau menunggu aku
kembali lupa untuk "ingin-pergi-dari-sini".
Masih terpenjara dalam wilayah,
-Jareth Wijaya-